Pembuka

Selamat Datang di Blog Ikatan Alumni SMAN 1 Purwodadi-Grobogan 1991

Rabu, 29 September 2010

Legenda Ki Ageng Sela Sang Penangkap Petir

Kyai Ageng Sela atau Ki Ageng Ngabdurahman adalah tokoh spiritual sekaligus leluhur raja-raja Kesultanan Mataram. Ia adalah guru Sultan Adiwijaya pendiri Kesultanan Pajang, dan adalah kakek dari Panembahan Senapati pendiri Kesultanan Mataram. Kisah hidupnya pada umumnya bersifat legenda, menurut naskah-naskah babad.

Silsilah

Nama asli Ki Ageng Ngabdurahman Sela menurut sebagian masyarakat adalah Bagus Sogom. Menurut naskah-naskah babad ia dipercaya sebagai keturunan langsung Brawijaya raja terakhir Majapahit.
Dikisahkan, Brawijaya memiliki anak bernama Bondan Kejawan, yang tidak diakuinya. Bondan Kejawan berputra Ki Getas Pandawa. Kemudian Ki Getas Pandawa berputra Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela berputra beberapa orang putri dan seorang putra bergelar Ki Ageng Ngenis. Ki Ageng Ngenis berputra Ki Ageng Pemanahan, penguasa pertama Mataram.

Legenda

Kisah hidup Ki Ageng Sela pada umumnya bersifat legenda menurut naskah-naskah babad, yang dipercaya sebagian masyarakat Jawa benar-benar terjadi.
Ki Ageng Sela disebutkan pernah mendaftar sebagai perwira di Kesultanan Demak. Ia berhasil membunuh seekor banteng sebagai persyaratan seleksi, namun ngeri melihat darah si banteng. Akibatnya, Sultan menolaknya masuk ketentaraan Demak. Ki Ageng Sela kemudian menyepi di desa Sela sebagai petani sekaligus guru spiritual. Ia pernah menjadi guru Jaka Tingkir, pendiri Kesultanan Pajang. Ia kemudian mempersaudarakan Jaka Tingkir dengan cucu-cucunya, yaitu Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi.
Ki Ageng Sela juga pernah dikisahkan menangkap petir ketika sedang bertani. Petir itu kemudian berubah menjadi seorang kakek tua yang dipersembahkan sebagai tawanan pada Kesultanan Demak. Namun, kakek tua itu kemudian berhasil kabur dari penjara. Untuk mengenang kesaktian Ki Ageng Sela, pintu masuk Masjid Agung Demak kemudian disebut Lawang Bledheg (pintu petir), dengan dihiasi ukiran berupa ornamen tanaman berkepala binatang bergigi runcing, sebagai simbol petir yang pernah ditangkap Ki Ageng. Bahkan, sebagian masyarakat Jawa sampai saat ini apabila dikejutkan bunyi petir akan segera mengatakan bahwa dirinya adalah cucu Ki Ageng Sela, dengan harapan petir tidak akan menyambarnya.
Ki Ageng Sela juga dikaitkan dengan asal-usul pusaka Mataram yang bernama Bende Kyai Bicak. Dikisahkan pada suatu hari Ki Ageng Sela menggelar pertunjukan wayang dengan dalang bernama Ki Bicak. Ki Ageng jatuh hati pada istri dalang yang kebetulan ikut membantu suaminya. Maka, Ki Ageng pun membunuh Ki Bicak untuk merebut Nyi Bicak. Akan tetapi, perhatian Ki Ageng kemudian beralih pada bende milik Ki Bicak. Ia tidak jadi menikahi Nyi Bicak dan memilih mengambil bende tersebut. Bende Ki Bicak kemudian menjadi warisan turun temurun keluarga Mataram. Roh Ki Bicak dipercaya menyatu dalam bende tersebut. Apabila hendak maju perang, pasukan Mataram biasanya lebih dulu menabuh bende Ki Bicak. Bila berbunyi nyaring pertanda pihak Mataram akan menang. Tapi bila tidak berbunyi pertanda musuh yang akan menang.
Selain pusaka, Ki Ageng Sela meninggalkan warisan berupa ajaran moral yang dianut keturunannya di Mataram. Ajaran tersebut berisi larangan-larangan yang harus dipatuhi apabila ingin mendapatkan keselamatan, yang kemudian ditulis para pujangga dalam bentuk syair macapat berjudul Pepali Ki Ageng Sela.

Sumber: www.id.wikipedia.org


Legenda Ki Ageng Sela

Cerita Ki Ageng Sela merupakan cerita legendaris. Tokoh ini dianggap sebagai penurun raja - raja Mataram, Surakarta dan Yogyakarta sampai sekarang. Ki Ageng Sela atau Kyai Ageng Ngabdurahman Sela, dimana sekarang makamnya terdapat di desa Sela, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Dati II Grobogan, adalah tokoh legendaris yang cukup dikenal oleh masyarakat Daerah Grobogan, namun belum banyak diketahui tentang sejarahnya yang sebenarnya. Dalam cerita tersebut dia lebih dikenal sebagai tokoh sakti yang mampu menangkap halilintar (bledheg).

Menurut cerita dalam babad tanah Jawi ( Meinama, 1905; Al - thoff, 1941), Ki Ageng Sela adalah keturunan Majapahit. Raja Majapahit : Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning. Dari putri ini lahir seorang anak laki - laki yang dinamakan Bondan Kejawan. Karena menurut ramalan ahli nujum anak ini akan membunuh ayahnya, maka oleh raja, Bondan Kejawan dititipkan kepada juru sabin raja : Ki Buyut Masharar setelah dewasa oleh raja diberikan kepada Ki Ageng Tarub untuk berguru agama Islam dan ilmu kesaktian. Oleh Ki Ageng Tarub, namanya diubah menjadi Lembu Peteng. Dia dikawinkan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Ki Ageng Tarub atau Kidang Telangkas tidak lama meninggal dunia, dan Lembu Peteng menggantikan kedudukan mertuanya, dengan nama Ki Ageng Tarub II. Dari perkawinan antara Lembu Peteng dengan Nawangsih melahirkan anak Ki Getas Pendowo dan seorang putri yang kawin dengan Ki Ageng Ngerang. Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh orang yaitu : Ki Ageng Sela, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, Nyai Ageng Adibaya . Kesukaan Ki Ageng Sela adalah bertapa dihutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi - bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Sela mendirikan perguruan Islam. Muridnya banyak, datang dari berbagai penjuru daerah. Salah satu muridnya adalah Mas Karebet calon Sultan Pajang Hadiwijaya. Dalam tapanya itu Ki Ageng selalu memohon kepada Tuhan agar dia dapat menurunkan raja - raja besar yang menguasai seluruh Jawa .

 Kala semanten Ki Ageng sampun pitung dinten pitung dalu wonten gubug pagagan saler wetaning Tarub, ing wana Renceh. Ing wanci dalu Ki Ageng sare wonten ing ngriku, Ki Jaka Tingkir (Mas Karebet) tilem wonten ing dagan. Ki Ageng Sela dhateng wana nyangking kudhi, badhe babad. Kathinggal salebeting supeno Ki Jaka Tingkir sampun wonten ing Wana, Sastra sakhatahing kekajengan sampun sami rebah, kaseredan dhateng Ki Jaka Tingkir. ( Altholif : 35 - 36 ) .

Impian tersebut mengandung makna bahwa usaha Ki Ageng Sela untuk dapat menurunkan raja - raja besar sudah di dahului oleh Jaka Tingkir atau Mas Karebet, Sultan Pajang pertama. Ki Ageng kecewa, namun akhirnya hatinya berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya kemudian kepada Jaka tingkir, Ki Ageng sela berkata :
Nanging thole, ing buri turunku kena nyambungi ing wahyumu (Dirdjosubroto, 131; Altholif: 36 ). Suatu ketika Ki Ageng Sela ingin melamar menjadi prajurit Tamtama di Demak. Syaratnya dia harus mau diuji dahulu dengan diadu dengan banteng liar. Ki Ageng Sela dapat membunuh banteng tersebut, tetapi dia takut kena percikan darahnya. Akibatnya lamarannya ditolak, sebab seorang prajurit tidak boleh takut melihat darah. Karena sakit hati maka Ki Ageng mengamuk, tetapi kalah dan kembali ke desanya : Sela. Selanjutnya cerita tentang Ki Ageng Sela menangkap “ bledheg “ cerita tutur dalam babad sebagai berikut :
Ketika Sultan Demak : Trenggana masih hidup pada suatu hari Ki Ageng Sela pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar - benar hujan lebat turun. Halilintar menyambar. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak - enak menyangkul, baru sebentar dia mencangkul, datanglah “ bledheg “ itu menyambar Ki Ageng, berwujud seorang kakek - kakek. Kakek itu cepat - cepat ditangkap nya dan kena, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun - alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek - nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “ bledheg hancur berantakan.

Kemudian suatu ketika Ki Ageng nanggap wayang kulit dengan dhalang Ki Bicak. Istri Ki Bicak sangat cantik. Ki Ageng jatuh cinta pada Nyai Bicak. Maka untuk dapat memperistri Nyai Bicak, Kyai Bicak dibunuhnya. Wayang Bende dan Nyai Bicak diambilnya, “ Bende “ tersebut kemudian diberi nama Kyai Bicak, yang kemudian menjadi pusaka Kerajaan Mataram. Bila “ Bende “ tersebut dipukul dan suaranya menggema, bertanda perangnya akan menang tetapi kalau dipukul tidak berbunyi pertanda perangnya akan kalah.
 Peristiwa lain lagi : Pada suatu hari Ki Ageng Sela sedang menggendong anaknya di tengah tanaman waluh dihalaman rumahnya. Datanglah orang mengamuk kepadanya. Orang itu dapat dibunuhnya, tetapi dia “ kesrimpet “ batang waluh dan jatuh telentang, sehingga kainnya lepas dan dia menjadi telanjang. Oleh peristiwa tersebut maka Ki Ageng Sela menjatuhkan umpatan, bahwa anak turunnya dilarang menanam waluh di halaman rumah memakai kain cinde .

… Saha lajeng dhawahaken prapasa, benjeng ing saturun - turunipun sampun nganthos wonten ingkang nyamping cindhe serta nanem waluh serta dhahar wohipun. ( Dirdjosubroto : 1928 : 152 – 153 ).
Dalam hidup berkeluarga Ki Ageng Sela mempunyai putra tujuh orang yaitu : Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba ( Wanasaba ), Nyai Ageng Basri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki - laki bernama Kyai Ageng Enis. Kyai Ageng Enis berputra Kyai Ageng Pamanahan yang kawin dengan putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng Pamanahan bernama Ki Juru Martani. Ki Ageng Enis juga mengambil anak angkat bernama Ki Panjawi. Mereka bertiga dipersaudarakan dan bersama - sama berguru kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang Hadiwijaya ( Jaka Tingkir ). Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta bertempat tinggal didusun lawiyan, maka kemudian terkenal dengan sebutan Ki Ageng Lawiyan. Ketika dia meninggal juga dimakamkan di desa Lawiyan. (M. Atmodarminto, 1955: 1222).

Dari cerita diatas bahwa Ki Ageng Sela adalah nenek moyang raja - raja Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan pemujaan kepada makam Ki Ageng Sela sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja - raja Surakarta dan Yogyakarta tersebut. Sebelum Garabeo Mulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki Ageng Sela untuk mengambil api abadi yang selalu menyala didalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja - raja Yogyakarta Api dari Sela dianggap sebagai keramat .
Bahkan dikatakan bahwa dahulu pengambilan api dilakukan dengan memakai arak - arakan, agar setiap pangeran juga dapat mengambil api itu dan dinyalakan ditempat pemujaan di rumah masing - masing. Menurut Shrieke ( II : 53), api sela itu sesungguhnya mencerminkan “asas kekuasaan bersinar “. Bahkan data - data dari sumber babad mengatakan bahkan kekuasaan sinar itu merupakan lambang kekuasaan raja - raja didunia. Bayi Ken Arok bersinar, pusat Ken Dedes bersinar; perpindahan kekuasaan dari Majapahit ke Demak diwujudkan karena adanya perpindahan sinar; adanya wahyu kraton juga diwujudkan dalam bentuk sinar cemerlang .
Dari pandangan tersebut, api sela mungkin untuk bukti penguat bahwa di desa Sela terdapat pusat Kerajaan Medang Kamulan yang tetap misterius itu. Di Daerah itu Reffles masih menemukan sisa - sisa bekas kraton tua ( Reffles, 1817 : 5 ). Peninggalan itu terdapat di daerah distrik Wirasaba yang berupa bangunan Sitihinggil. Peninggalan lain terdapat di daerah Purwodadi .

Sebutan “ Sela “ mungkin berkaitan dengan adanya “ bukit berapi yang berlumpur, sumber - sumber garam dan api abadi yang keluar dari dalam bumi yang banyak terdapat di daerah Grobogan tersebut .
Ketika daerah kerajaan dalam keadaan perang Diponegoro, Sunan dan Sultan mengadakan perjanjian tanggal 27 September 1830 yang menetapkan bahwa makam - makam keramat di desa Sela daerah Sukawati, akan tetap menjadi milik kedua raja itu. Untuk pemeliharaan makam tersebut akan ditunjuk dua belas jung tanah kepada Sultan Yogyakarta di sekitar makam tersebut untuk pemeliharaannya. ( Graaf, 3,1985 : II ). Daerah enclave sela dihapuskan pada 14 Januari 1902. Tetapi makam - makam berikut masjid dan rumah juru kunci yang dipelihara atas biaya rata - rata tidak termasuk pembelian oleh Pemerintah.

noenk CAHAYA
Sumber: www.grobogan.go.id

1 komentar: